Di ruang menunggu
kita menyimpul resah dan ragu
mengiring langkah waktu
yang berangkat
senyap dan lambat.
Di ruang menunggu
kita bagai pesalah
terhukum oleh lelah gelisah.
Wajah-wajah yang menanti
menabir warna pada riak sendiri
larut dalam peta rasa
tak terbaca.
Di ruang ini
harap dan debar
bergetaran menggiring doa.
Anggerik Mall, Shah Alam
28 April 2010.
Thursday, April 29, 2010
Saturday, April 10, 2010
Sajak ini aku tulis untuk.....
Semua orang kenal Sasterawan Negara A Samad Said. Rasa saya, rakyat Malaysia yang mengatakan tidak kenal atau tidak pernah dengar nama beliau, bolehlah kita campak mereka itu ke laut saja!
Semasa beliau menerima Anugerah Ijazah Persuratan, saya mencoretkan ke dalam buku catatan ungkapan ini;
Sepercik tinta menyebar aksara
Cinta tersulam ke nadi anak bangsa
mengungkap selaksa erti
menafasi detak seni.
(28.08.03)
Ungkapan selintas ini akhirnya menjadi puisi, dengan baris pertamanya menjadi judul. Saya ada menghantarnya ke dua, tiga penerbitan, tetapi tidak tersiar. Maka saya menyimpannya sebagai milik peribadi.
Sepercik Tinta Menyebar Aksara
Duka terpenjara di celah-celah peristiwa
kala kau menginjak usia pada zaman penuh luka
di laman derita
kau mengecap hangat ribaan bonda
cintanya berkolam sejuk seperti air telaga
yang menjirusimu saban hari
dengan janji cerita demi cerita
di laman derita
kau begitu lekas menjadi dewasa
pada usia kau masih perlu bermanja
telah kau tafsiri bobroknya makna kehidupan
memahami nyawa manusia harganya tanpa taruhan
bila tetanggamu yang semalamnya enak berjenaka
menyambut pagi dengan wajah tidak dikenali
semuanya berkecai oleh ledakan bom dinihari
di laman derita itu
tertebar kabut mimpi
mengapung seperti hari depan yang tak pasti.
Itulah ledakan zaman sengsara
menumbuh anak yang mengurung percakapan
ke lembah fikir yang matamg.
Dan kauheret debu waktu lalu
pada tapak sepatu
memesrai dunia buku-buku
mengunyah rahsia kehidupan dengan deretan aksara
melontar resah dengan lunak bahasa
mengungkap kebijaksanaan lewat bicara pena.
Kau tidak lelah
bila musim telah memunggah
usia lalu ke pelabuhan baru
bunga pengalaman matang pada ranting kehidupan
sepercik tintamu mengeja makna
tersebar cintanya ke jiwa anak bangsa
sepercik tintamu mengungkap selaksa erti
berdetak menafasi nadi seni.
****
Semasa beliau menerima Anugerah Ijazah Persuratan, saya mencoretkan ke dalam buku catatan ungkapan ini;
Sepercik tinta menyebar aksara
Cinta tersulam ke nadi anak bangsa
mengungkap selaksa erti
menafasi detak seni.
(28.08.03)
Ungkapan selintas ini akhirnya menjadi puisi, dengan baris pertamanya menjadi judul. Saya ada menghantarnya ke dua, tiga penerbitan, tetapi tidak tersiar. Maka saya menyimpannya sebagai milik peribadi.
Sepercik Tinta Menyebar Aksara
Duka terpenjara di celah-celah peristiwa
kala kau menginjak usia pada zaman penuh luka
di laman derita
kau mengecap hangat ribaan bonda
cintanya berkolam sejuk seperti air telaga
yang menjirusimu saban hari
dengan janji cerita demi cerita
di laman derita
kau begitu lekas menjadi dewasa
pada usia kau masih perlu bermanja
telah kau tafsiri bobroknya makna kehidupan
memahami nyawa manusia harganya tanpa taruhan
bila tetanggamu yang semalamnya enak berjenaka
menyambut pagi dengan wajah tidak dikenali
semuanya berkecai oleh ledakan bom dinihari
di laman derita itu
tertebar kabut mimpi
mengapung seperti hari depan yang tak pasti.
Itulah ledakan zaman sengsara
menumbuh anak yang mengurung percakapan
ke lembah fikir yang matamg.
Dan kauheret debu waktu lalu
pada tapak sepatu
memesrai dunia buku-buku
mengunyah rahsia kehidupan dengan deretan aksara
melontar resah dengan lunak bahasa
mengungkap kebijaksanaan lewat bicara pena.
Kau tidak lelah
bila musim telah memunggah
usia lalu ke pelabuhan baru
bunga pengalaman matang pada ranting kehidupan
sepercik tintamu mengeja makna
tersebar cintanya ke jiwa anak bangsa
sepercik tintamu mengungkap selaksa erti
berdetak menafasi nadi seni.
Saya teringatkan sajak di atas apabila membaca coretan blog tentang A Samad Said, oleh seorang penulis yang saya minati. Dan sebagai peminat tokoh ini, dengan cara saya, saya juga ingin mengucapkan;
Selamat ulang tahun, Pak Samad!****
Saya juga menulis sajak untuk suami. Sajak berikut tidak pernah saya tunjukkan kepadanya. Sempena ulang tahunnya, esok, saya paparkan sajak itu di sini;
Warna Semara
Saat rembulan menyebar serpih sepi
ada yang menyusup ke dalam kenangan
himpunan pengalaman lewat musim berganti
bagai tenang kapal di pelabuhan singgahan
sesudah dilambung gelombang lautan demi lautan.
kukuh cinta kita memetri janji
meski bertahun kupelajari
ikrar cinta yang ada kalanya sulit untuk kufahami
debur kehidupan membadai di jiwa
tapi warna mimpi kita tetap sama.
Bilah pengalaman yang kauanyam
mendindingi ruang erti
aku belajar memahami
himpun bicara pada pada garis dan warna
raung yang terkumpul pada hujung berusmu
pedihnya hinggap di mataku.
Serakan warna pada kanvasmu
perciknya sesekali menodai pakaian kesabaranku
tercabarkah setia
kala nasib terjaja di jari pengumpul karya
gelodak jiwa tumpahnya ke cangkir cinta jua!
Saat rembulan mendaki langit perkasihan
kutenun sutera kata menyulami purnama
biarpun pengertian terbibit dari waktu-waktu yang jerih
rasa terbaja oleh detik dan masa
menyihir kerikil perjalanan menjadi permata.
Di bawah langit kelabu
kita merengkuh lengkung pelangi, mengarai mimpi
mahar perkahwinan melewati
lenggok garis dan calit warna
kudengar desah nafas seniman
membisik azimat semara!
Saat rembulan menyebar serpih sepi
ada yang menyusup ke dalam kenangan
himpunan pengalaman lewat musim berganti
bagai tenang kapal di pelabuhan singgahan
sesudah dilambung gelombang lautan demi lautan.
kukuh cinta kita memetri janji
meski bertahun kupelajari
ikrar cinta yang ada kalanya sulit untuk kufahami
debur kehidupan membadai di jiwa
tapi warna mimpi kita tetap sama.
Bilah pengalaman yang kauanyam
mendindingi ruang erti
aku belajar memahami
himpun bicara pada pada garis dan warna
raung yang terkumpul pada hujung berusmu
pedihnya hinggap di mataku.
Serakan warna pada kanvasmu
perciknya sesekali menodai pakaian kesabaranku
tercabarkah setia
kala nasib terjaja di jari pengumpul karya
gelodak jiwa tumpahnya ke cangkir cinta jua!
Saat rembulan mendaki langit perkasihan
kutenun sutera kata menyulami purnama
biarpun pengertian terbibit dari waktu-waktu yang jerih
rasa terbaja oleh detik dan masa
menyihir kerikil perjalanan menjadi permata.
Di bawah langit kelabu
kita merengkuh lengkung pelangi, mengarai mimpi
mahar perkahwinan melewati
lenggok garis dan calit warna
kudengar desah nafas seniman
membisik azimat semara!
Subscribe to:
Posts (Atom)